Windry Ramadhina
GagasMedia, May 2014
380 Halaman
Rp. 58.000,-
Blurb
Hanna,
listen.
Don’t cry, don’t cry.
The world is envy.
You’re too perfect
and she hates it.
Aku tahu kau menyembunyikan luka di senyummu yang retak. Kemarilah, aku akan menjagamu, asalkan kau mau mengulurkan tanganmu.
“Waktu tidak berputar ulang. Apa yang sudah hilang, tidak akan kembali. Dan, aku sudah hilang.” Aku ingat kata-katamu itu, masih terpatri di benakku.
Aku tidak selamanya berengsek. Bisakah kau memercayaiku, sekali lagi?
Kilat rasa tak percaya dalam matamu, membuatku tiba-tiba meragukan diriku sendiri. Tapi, sungguh, aku mencintaimu, merindukan manis bibirmu.
Apa lagi yang harus kulakukan agar kau percaya? Kenapa masih saja senyum retakmu yang kudapati?
Hanna, kau dengarkah suara itu? Hatiku baru saja patah
***
"Masa lalu seperti belenggu, memang. Mengikat. Terlalu mengikat, kadang. Seperti menjadi bagian baru di diri kita. Bagian baru yang membebani." (Hal. 254)
Interlude bercerita tentang Hannya seorang mahasiswi jurnalisme yang kembali berkuliah setelah setahun ia meninggalkannya. Hannya mengalami trauma akibat pemerkosaan yang menimpa dirinya. Hannya mendapat cemooh dan pandangan sinis dari teman-teman kuliahnya. Hannya menjadi pemurung dan sangat takut kepada laki-laki.
Hanna menyukai laut. Dan ia bertemu dengan seorang laki-laki bernama Kai (yang artinya laut) di atap indekosnya. Kai adalah seorang laki-laki brengsek yang sangat pandai. Ia pandai dalam hal akademik maupun permainan gitarnya. Kai sangat menyukai musik jazz. Melalui petikan gitarnya yang meneduhkan, Hanna mampu tersihir oleh alunan nada yang dihasilkan oleh Kai.
Kai mengira Hanna sama dengan perempuan lain yang malu-malu tapi mau. Tapi Kai salah. Setelah mengetahui hal yang pernah Hanna alami dari Gitta, Kai merasa menyesal dan ingin meminta maaf kepada Hanna. Kai menyukai bahkan mencintai Hanna. Dan Kai ingin Hanna mempercayainya kembali.
"Rasa tidak menjamin kebahagiaan." - Hanna (hal. 287)
***
Interlude ditulis dalam bentuk PoV ke-3. Berbeda dari tiga novel sebelumnya (atau bahkan lebih. Karena aku baru membaca Memori, London, Montase dan Interlude) kak Windry memberikan nuansa PoV 1 dan dalam novel Montase serta London melalui sudut pandang laki-laki. Dimana kak Windry berhasil membuat novel ini diketahui oleh pembaca dari pemikiran semua tokohnya. Pengenalan tokoh yang disajikannya pun tidak terlalu rumit. Ceritanya mengalir secara lembut sehingga pembaca dapat ikut merasakan penderitaan yang dialami Hannya dan kekalutan yang dihadapi oleh Kai.
Aku selalu menyukai penjabaran yang kak Windry tulis. Tentang percintaan, masa lalu, masalah keluarga bahkan untuk ilmu-ilmu yang disisipkan dalam setiap paragrafnya. Untuk Interlude, kak Windry berhasil menambahkan ilmu musik Jazz yang sangat mengesankan.
Good Job untuk kak Windry dan Interludenya. Aku menunggu novel selanjutnya :D


Tidak ada komentar:
Posting Komentar